21 Desember 2007 - 11:15
AIDS, Kondom, dan Demokrasi
gaulislam edisi 008/tahun I (17 Desember 2007)
Fokus obrolan kita pada kali ini seputar upaya untuk menguak ‘kebaikan hati’ para aktivis yang membagikan kondom gratis, maka kali ini kita akan membahas lebih dalam tentang sebab-musababnya. Solusi islami tentu saja otomatis ada dalam setiap pembahasan. Jadi, solusi untuk menekan bertambahnya korban AIDS bukan dengan cara membagikan kondom gratis. Cara efektif untuk menyelesaikan masalah secara tuntas adalah adanya benteng takwa pada individu, masyarakat dan negara. Dengan ketakwaan individu, maka manusia akan mempunyai kontrol diri untuk tidak melakukan zina. Didukung oleh ketakwaan kolektif masyarakat, maka bisa dipastikan rakyat akan menolak adanya lokalisasi dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku zina. Dan yang utama dari semua ini adalah penerapan aturan dan sanksi oleh negara. So, negaralah yang berwenang menutup keberadaan lokalisasi zina dan beragam kemaksiatan lainnya. Negara berkewajiban juga memberi hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan ini, gitu lho.
Pohon berdiri ditopang akar
Coba deh kamu perhatikan sebuah pohon yang terlihat kuat. Apa sih yang membuat tuh pohon mampu berdiri kuat menjulang secara gagah? Batang-batangnya sangat kokoh dan mengeluarkan daun, bunga bahkan buah yang indah dan lezat. Ternyata, ada sesuatu yang sangat penting di bawah sana meski kadang dilupakan orang: Akar. Kekuatan akar menjadi kunci bagi kuat tidaknya posisi sebuah pohon untuk tegar berdiri.
Manusia pun tak jauh beda. Di balik sikap keukeuh seseorang untuk bertahan pada suatu pendapat dan sikap tertentu, itu juga karena ada akidah dalam dirinya. Ibarat akar pada pohon yang tersimpan jauh di dalam tanah, akidah pada diri manusia ini juga tidak terlihat secara kasat mata.
Akidah adalah keyakinan yang mendalam, mendasar dan menyeluruh tentang manusia, alam sekitar dan kehidupan baik sebelum ataupun setelah mati. Hal inilah yang akan mewarnai dan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang menganggap bahwa melakukan hubungan seks di luar nikah alias berzina adalah hal yang sah-sah aja karena itu adalah hak asasi tiap manusia yang harus dilindungi, maka tidak bisa tidak orang seperti ini pastilah berakidah sekuler alias memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipandang sebagai urusan individu yang cuma mengurusi hubungan manusia dengan tuhan. Selebihnya, serahkan saja pada otak dan hukum buatan akal manusia. Tidak ada seorang pun, tidak juga masyarakat dan negara yang berhak melarang perzinaan apabila dilakukan suka sama suka. Toh, nggak ada pihak yang dirugikan, itu yang selalu menjadi dalih orang-orang model begini. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak meyakini (minimal kurang yakin) adanya surga dan neraka setelah kehidupan berakhir.
Bila pun mereka yakin surga dan neraka ada, mereka akan berpikir: “Toh bukan aku pelakunya. Kalau nggak mau diganggu urusan kita, maka jangan mau mengganggu urusan orang lain. Toh, kebebasan berperilaku dilindungi oleh undang-undang.” Yang menjadi fokus mereka hanya berusaha mencegah efek negatif dari kebebasan berperilaku ini. Kondomisasi dianggap sebagai solusi. Mereka lupa (atau pura-pura lupa?) bahwa pembagian kondom gratis hanyalah menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Kayak orang mademin kebakaran tapi bikin kebakaran baru. Kondom gratis ke sekolah-sekolah (bahkan ada yang ke SD, lho—lihat Republika, 9 Desember 2007) menjadi bom waktu untuk rusaknya moral generasi muda suatu bangsa.
Demokrasi, si biang kerok
Kebebasan berperilaku menjadi daya tarik tersendiri atas slogan HAM yang dengungnya sangat laris manis bak kacang goreng. Siapa sih yang nggak pengen untuk bisa bebas berperilaku tanpa ada yang melarang? Mau begini, mau begitu, suka-suka gue selama nggak merugikan orang lain. Otomatis induk dari kebebasan berperilaku ini akhirnya juga laris manis mengikuti turunannya. Apakah induk kebebasan berperilaku ini? Tak lain dan tak bukan adalah konsep Demokrasi.
Selalu ada awal bagi sebuah perjalanan. Selain sekularisme yang mendasari maraknya seks bebas, demokrasi turut andil untuk meramaikan panggung kerusakan dunia. Sistem kuno warisan jaman Yunani kuno ini adalah biang kerok dari semua masalah-masalah di dunia termasuk kebebasan berperilaku ini.
Oya, yang perlu diwaspadai, demokrasi ibarat bunglon yang pandai mengubah bentuk sehingga membuat siapa saja yang memandang bakal terkecoh. Tidak sedikit kaum muslimin yang dengan suka cita menyambut ide ini hanya karena ada salah satu bagian dalam demokrasi mirip dengan Islam, misalnya musyawarah. Padahal faktanya demokrasi jauh lebih menyukai pengambilan pendapat dengan poling atas suara terbanyak daripada musyawarah itu sendiri.
Demokrasi yang mempunyai slogan suara rakyat adalah suara Tuhan meyakini bahwa suara mayoritas adalah pemenang. Jadi kalo ada 10 wakil rakyat terdiri dari 9 perampok dan cuma satu saja orang baik, maka keputusan yang dihasilkan pastilah kesepakatan para perampok. Inilah yang disebut suara mayoritas, tanpa peduli salah atau benar. Dengan demokrasi yang halal bisa menjadi haram, dan yang haram bisa pula menjadi halal.
Boys and gals, dalam demokrasi berzina bisa menjadi halal ketika mayoritas rakyat atau wakilnya mengatakan demikian. Maka, lokalisasi pelacuran bisa menjadi aset negara untuk ngumpulin pajak. Jilbab yang jelas-jelas wajib bagi perempuan menjadi haram ketika undang-undang mengatakan demikian. Masih ingat kan dengan kasus diusirnya banyak muslimah di sekolah negeri tahun 90-an hanya karena tidak mau melepas kerudungnya dalam kelas?
Sungguh naif banget kalo ada orang yang menyamakan demokrasi dengan musyawarah apalagi dengan Islam hanya karena sangat sedikit kemiripan di antaranya. Kalo kamu suka pisang dan monyet pun juga suka, apakah itu artinya kamu sama dengan monyet? Tentu nggak dong. Kecuali kalo kamu emang ngefans sama Charles Darwin yang mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Hiii... naudzhubillah banget. Bagi yang meyakini teori Darwin ini, sedikit bisa dimaklumi kalo kelakuannya juga nggak beda-beda jauh dengan monyet yang nggak butuh lembaga pernikahan untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Ciloko!
Baik dan buruk, menurut siapa?
Kebenaran/kebaikan itu relatif, demikian slogan yang sering disuarakan oleh para pengusung demokrasi. Kalo kebenaran memang relatif, seharusnya tidak perlu ada penegak hukum di dunia bila penganut demokrasi konsisten dengan slogan ini. Bayangkan saja seorang polisi yang menangkap pencuri dengan alasan merugikan orang lain dan mengganggu ketenangan umum. Bisa saja si pencuri berkilah itu kan kebenaran menurut versi polisi. Sedangkan menurutnya, kebenaran adalah mencari sesuap nasi untuk anak yang menangis di rumah karena tiga hari tidak makan. Maka, tidak seharusnya polisi menghukum si pencuri dong. Lha kalo begini kondisinya, bisa kacau dunia. Sehingga tidak bisa tidak, harus ada standar yang tepat dan pas bagi manusia karena satu sama lain pastilah mempunyai kemauan dan kepentingan yang berbeda-beda.
Standar tepat dan pas ini adalah hukum syara’, yakni aturan Islam. Apa yang baik menurut syara’, pasti baik untuk manusia. Biar kata seluruh dunia mengatakan bahwa berzina itu adalah hak asasi manusia, selama syara’ menyatakan haram, maka haram pula hukumnya hingga hari kiamat kelak. Berkasih sayang dengan lawan jenis akan menjadi halal bila dilakukan setelah akad nikah, bukan sebelumnya.
Intinya, yang membedakan manusia beriman dan bukan adalah standar yang dipakainya dalam beramal. Kalau sekadar mengaku muslim saja semua orang juga bisa. Kan gampang banget tuh mencantumkan status agama sebagai orang Islam di KTP. Tapi tentang lurusnya akidah dan amal? Ini yang kudu dipertanyakan bagi orang yang suka mengaku-aku muslim tapi nggak pake aturan Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya.
Memang, mewujudkan kondisi ideal ini tidak mudah. Tapi bukankah tidak ada sesuatu di dunia ini yang mudah? Apalagi dengan hadangan paham hedonisme (paham serba boleh), kapitalisme dan demokrasi membuat upaya ini menjadi semakin tidak mudah. Tapi yakinlah bahwa Allah Swt. melihat proses yang kita lalui untuk memperjuangkan syariatNya. Akan jauh lebih nyata niat untuk mengurangi angka penderita AIDS dengan menyadarkan masyarakat akan pemahaman Islam yang benar. Bukan dengan malah membagi kondom gratis dan mengompori remaja untuk mencoba seks dengan kondom gratisan. Saya teringat sharing seorang teman yang membagikan brosur taat kepada syariat dengan solusi penerapan Islam sebagai ideologi negara dalam peringatan hari AIDS sedunia tempo hari. Pada saat yang sama dan hanya berjarak beberapa meter darinya, para aktivis kondom membagikan benda terbuat dari lateks ini secara gratis. Ironis!
Penanggulangan AIDS akan jauh lebih efektif bila saja perilaku save sex mempunyai satu suara dari seluruh komponen masyarakat: yakni, “No Free Sex”. Tidak lagi ada alasan apa pun bahwa melakukan seks atau tidak itu adalah hak pribadi masing-masing. Setiap individu mempunyai kewajiban mengingatkan saudara, teman, dan sahabat untuk tidak melakukan seks sebelum menikah secara sah.
Rasulullah saw. tercinta bersabda: “Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)
Masyarakat kita saat ini justru cuek satu sama lain. Kalo gitu, tinggal nunggu kehancuran karena merasa bahwa kebebasan berperilaku adalah hak asasi manusia. Waduh!
Moga aja paparan ini mampu membuka mata hati dan pikiran kamu untuk mendapatkan pencerahan. Kondomisasi apa pun alasan di baliknya dengan dalih apa pun, adalah suatu upaya pelegalan seks bebas. Sekularisme dan demokrasi adalah biang kerok kerusakan akhlak dan tatanan sistem dalam masyarakat saat ini. Oleh karena itu saatnya dengan tegas kita katakan bahwa syariat Islam adalah solusi. Caranya? Ayo, ngaji! Supaya kamu nggak terjerumus jadi aktivis untuk kegiatan yang salah dan bahkan merusak generasi. Nah, sambil ngaji, barengi deh dengan dakwah untuk sampaikan kebenaran Islam. Setuju? Pasti dong. Sip dah!
sumber : www.dudung.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar